Jelajah Banten

Friday, August 11, 2006

Nasi Sumsum, Akhirnya...

Keinginan untuk menjajal nasi sumsum Mang Puri akhirnya kesampaian juga Kamis (10/8) malam lalu. Jajanan yang konon populer di kalangan pecinta kuliner di Jakarta itu, aku temukan di sekitar Pasar Lama Serang, persis seperti yang disebut oleh ibu Hj Fatum ketika bertandang menikmati Rabeg, tempo hari.

Semula tak terpikir untuk menjajal nasi sumsum malam itu. Aku hanya merasa lapar karena sejak sore perut belum juga diisi nasi. Nah selepas mengantar seorang teman ke pintu tol Serang Timur, karena hendak pulang ke Jakarta, aku bergegas ke Pasar Lama. Malam itu pukul 22.30 WIB. Langit bersih karena bulan tampil pede dengan bentuknya yang bundar. Hanya sedikit awan yang bergelayut. Selebihnya hanya kerlap bintang. Jalanan ke pasar lama pun tak lagi macet. Malah kulihat beberapa gerobak dan tukang sampah sudah beroperasi mengangkuti onggokan sampah ke atas truk. Sejumlah gerobak pedagang juga bergerak pulang. Sempat ragu jangan-jangan targetku kali ini lolos lagi.

Tak susah menemukan lokasi warung Mang Puri. Lokasinya di sekitar Pasar Lama Serang. Letaknya persis di seberang Rumah Makan Saiki yang bergaya bangunan jaman Belanda dengan tulisan nama rumah makan dibuat timbul pada tembok bagian atap.

Warung Mang Puri sebetulnya cuma warung tenda sederhana. Bentuknya mirip warung penjual pecel lele atau ayam goreng yang gampang kita temukan di mana-mana. Bagian utamanya adalah meja panjang dilapisi terpal sepanjang 2 meter. Lantas ada kotak berisi macam-macam perlengkapan makan di sisi kanan meja. Warung ini ditutup kain spanduk dengan tulis "NASI SUMSUM" yang ukuran mencolok. Di depan tulisan Nasi Sumsum, ada tulisan kecil "Mang" dalam bentuk sambung dan diikuti kata "PURI" dengan bentuk tegak yang ukuran hurufnya jauh lebih besar dan tegas dari kata Mang. Pada pojok bagian luar ada tungku perapian tempat memanggang yang panasnya diperoleh dari pembakaran arang kayu. Bagi yang pertama kali melihat dan mengenal nasi sumsum, pasti bakal bingung dengan fungsi tungku ini. Barangkali mereka akan menduga penjualnya menyediakan sate atau jagung.

Toh keheranan itu bakal cuma sekejap. Begitu memesan, pengunjung bakal langsung paham fungsi tungku ini untuk menghangatkan nasi yang dibungkus daun pisang.
Ari, si penjual, bercerita banyak tentang dagangan dan perilaku pembelinya. Tanpa kuminta, seluk-beluk tentang nasi sumsum yang sudah begitu terkenal ini, dengan sendirinya kudapatkan dari sumber aktual. Ari adalah anak dari Aspuri (dari sini nama Mang Puri dikenal), pendiri dari warung Mang Puri.

"Bapak saya berjualan di sini sejak umurnya 19 tahun, Mas. Sekarang dia sudah pensiun," kata dia. Bila dihitung-hitung, misalkan umur Aspuri kini 60 tahun, setidaknya sudah 41 tahun lebih warung ini berdiri. Selama itu, warung tersebut buka di tempat yang sama. Lantas darimana resep nasi puri ini didapat? Ari menjawab singkat, "Dari nenek. Nenek yang buat,". Kini sang bapak tinggal di Bogor dan memercayakan bisnisnya pada Ari dan kakaknya.

Sambil mengajaknya bicara, Ari meracik pesananku. Pertama-tama dia ambil tiga bungkus nasi sumsum dari keranjang. Satu bungkus nasi sumsum ukurannya hampir tiga kali ukuran otak-otak, tapi lebih kecil daripada lontong yang dibawa penjual lontong tahu. Bayangkan kalau tiga sekaligus dijadikan dalam satu porsi. Aku sudah yakin porsi ini tak bakalan habis dilahap.


FOTO : SRI NANANG SETIYONO
DIHANGATKAN: SEBELUM DIRACIK DENGAN MENTIMUN DAN TOMAT.

Proses menyajikan nasi sumsum cukup sederhana. Ari cuma menghangatkan bungkus nasi selama beberapa saat. Maklum sebelum dipanaskan, nasi emang sudah dipanggang bersama bungkusnya seperti tampak dari warna hitam pada sebagian bungkus yang hangus karena terlalap api. Setelah itu, bungkusan dibuka dan daun pisang yang tadi membungkus nasi dijadikan alas piring. Aroma nasi sumsum yang khas pun langsung keluar. Ari lantas menambah beberapa potong irisan tomat dan mentimun. Sepotong jeruk purut yang sudah dibelah juga ditaruh di sana.

Begitu dilahap, lidahku langsung mencoba mengenali aroma dan rasanya. Ada pedas, gurih, wangi, dan hmm.... Rasa pedas tampak dari warna nasi yang kemerah-merahan akibat pengaruh cabe dalam campuran bumbu. Yang jelas lidah tak mau menolak suapan dan mengirim pesan ke otak dan bilang kalau selama ini belum pernah ada rasa nasi seenak dan segurih ini sebelumnya. Syaraf-syaraf di gusi dan gigiku pun bisa mengenali bentuk nasi dari teksturnya yang lebih empuk dan lebih kenyal. Butirannya tidak gandeng seperti ketupat atau lontong, tapi mirip nasi goreng yang terpisah. Bedanya, rasa nasi sumsum merata di semua bagiannya. Nyaris tak ada satu butir pun yang tak terkena bumbu seperti yang sering kita dapati kalau menyantap nasi goreng.

Rupanya rahasia rasa dan kekenyalannya ada pada cara pembuatan. Ari yang mempunya tanda bekas luka di pipi kanan tak segan berbagi rahasia. Kata dia, baik nasi maupun sumsum masing-masing dikukus terlebih dahulu. Baru kemudian keduanya dicampur dan diaduk hingga merata. Setelah itu, campuran nasi dan sumsum ini, dibungkus dengan daun pisang, tak lupa diselipi satu potongan batang sereh di tiap bungkusnya.

Daun sereh memang salah satu ciri khas nasi sumsum Mang Puri. Daun ini pula yang memberi kontribusi aroma wangi pada nasi sumsum-nya. Malah ketika nasi dikukus pun (sebelum dicampur sumsum) sudah diberi sereh sebagai penambah arom. Hasilnya, nasi sumsum Mang Puri selalu menebar wangi alami bagi calon penikmatnya.


FOTO : Sri Nanang Setiyono
DIRACIK: DISIAPKAN DALAM KONDISI HANGAT.

Ada lagi rahasia yang dia buka. Yang utama sih tentang sumsum yang dipakai. Ari mengaku tak pernah memakai sumsum tulang sapi sebagai bahan. Dari pengalamannya, sumsum tulang sapi justru kerap menyusut ketika dikukus, berbeda dengan sumsum tulang kerbau. Lagipula, sumsum tulang sapi lama-lama mencair dan keluar dari campuran nasi sumsum sehingga membuat rasa nasi menguap.
"Kadang-kadang pembeli tahu kalau kita pakai sumsum sapi. Katanya kok rasanya lain Mang, emang enggak pakai sumsum kerbau ya," kata Ari bercerita. Dari pengalaman ini, Ari lantas tak pernah memakai sumsum sapi.

Saat ini, harga 1 kg sumsum kerbau = Rp 40 ribu. Setiap hari minimal dia menghabiskan 4 sd 5 kg sumsum kerbau untuk dibuat nasi sumsum. Dengan jumlah itu, Ari memerlukan beras antara 10-12 kg. "Padahal sumsum kerbau jarang ada," akunya. Untungnya, dia sudah punya langganan dari rumah potong hewan di Rau, Serang. Kata dia, kalau sedang apes-apesnya dia masih bisa mendapatkan 1 kg sumsum kerbau. Obrolan kami itu mengingatkanku pada kota Kudus di Jawa Tengah yang masyarakatnya tak suka mengkonsumsi daging kerbau.
"Coba Mang buka cabang di Kudus. Di sana setiap warung cuma nyediain daging kerbau karena menurut kepercayaan tidak boleh memotong dan makan daging sapi. Di sana daging sapi tidak laku," saranku pada Mang Ari. "Pasti di sana kan nyari sumsum kerbau lebih gampang," kataku menambahkan. Ari pun manggut-manggut sambil berguman ingin suatu saat membuka usaha nasi sumsum di Kudus.

Ada lagi kelebihan nasi sumsum yang diceritakan Ari kepadaku yang saat itu sudah melahap habis seporsi nasi sumsum buatannya. Pernah ada seorang ibu dari Jakarta yang penasaran apakah nasinya bisa disimpan di kulkas dan rasanya tidak menjadi hambar. Kata Ari untuk sehari dua hari, rasa nasinya tetap akan awet seperti semula. Si ibu pun minta garansi dan dijawab Ari kalau ucapannya tak terbukti, nasi yang sudah telanjur dibeli si ibu tadi akan diganti seluruhnya.
"Eh ternyata orangnya datang lagi dan bilang katanya bisa awet sampai satu minggu. Malah katanya rasanya lebih gurih," cerita Ari berseri-seri.


FOTO : SRI NANANG SETIYONO
SIAP SANTAP: Hmmmm....yumi...yumi...yumi.....

Lebih dari setengah jam aku ngobrol dengan Ari. Aku yang tadi sempat menahan kencing pun sampai lupa untuk buang air karena keasyikan bercerita dan mendengar kisah warung nasinya. Termasuk kisah tamu-tamunya dan pengalaman-pengalamannya bergaul dengan para konsumennya. Saat aku sebut nama Bondan Winarno, Ari langsung paham. Dia membenarkan sang pelancong kuliner itu pernah mampir ke tempatnya. Beberapa hari kemudian, berduyun-duyun pembeli dari Jakarta datang cuma ingin mencicipi nasi sumsumnya. Mereka memborong dalam jumlah banyak untuk oleh-oleh.

Selain Bondan, ada pula presenter acara kuliner di televisi yang juga mampir dan melakukan reportase. Setiap kali warungnya muncul di TV, bisa dipastikan akan banyak pembeli-pembeli baru yang datang untuk mencoba dagangannya.
"Pernah ada yang pesen sampai 400 bungkus untuk dibawa ke Jakarta," akunya.

Kini dengan Ari menyarankan para pembelinya untuk mencatat nomor ponselnya dan memberi tahu terlebih dahulu bila hendak memesan dalam jumlah banyak.  "Kalau mas mau ke sini lagi, SMS dulu aja mas biar bisa disisain," katanya menyarankan. Walau tak mencatat nomor teleponnya, aku justru meninggalkan kartu nama dan berjanji akan datang lagi. Tak lupa kuserahkan selembar uang Rp 10 ribu untuk mengganti seporsi nasi sumsum yang sudah kutelan habis itu. Walau agak mahal untuk ukuran warung tenda, toh sebenarnya banyak sekali informasi yang aku dapatkan dari Ari dan pengalamannya. Salah satunya adalah tentang ketekunan dan keuletan yang tak pernah disinggungnya tapi ditunjukkan lewat tanggapan pelanggan-pelanggannya. Saat pulang, aku sempat mampir membeli sepatu dari PKL yang mangkal di perko (emper toko) Jl Hasanudin untuk dipakai esok harinya. Malam itu jam menunjuk angka 23.30 WIB.(*)

Tuesday, August 08, 2006

Rabeg yang Makin Langka

Adalah rasa penasaran yang mendorongku ngeloyor dari kantor siang kemarin. Gara-garanya keinginan mencicipi makanan khas Banten bernama Jejorong dan bubur sumsum yang namanya kudapat dari tulisan Bondan Winarno di kolom Jalan Sutera dalam website KCM. Siang itu juga sekitar pukul 15.30, aku meluncur ke Pasar Lama Serang yang jaraknya lebih kurang 3 km dari kantorku.
Tak sampai 10 menit, aku sudah meluncur di depan pasar. Agak ragu juga ketika kulihat warung-warung tenda di sepanjang jalan di depan pasar belum menjajakan makanan. Toko-toko di sekitarnya kebanyakan menjajakan buah-buahan, sepatu, barang elektronik, dan pakaian. Beberapa toko tampak lengang dan sebagian malah tidak buka sama sekali. Kulihat papan nama bekas bioskop Serang yang di bawahnya menjadi tempat mangkal ojek, kios penjual buah-buahan dan parkir sepeda motor. Sempat aku kelilingi pasar namun tak juga kulihat warung tenda Mang Puri yang disebut-sebut Bondan di tulisannya. Hasilnya masih nihil.
Masih kurang yakin, kucoba susuri jalan ke arah utara hingga menemui pertigaan yang di sisi timurnya berdiri kantor Polsek Lopang. Aku memutuskan melaju ke arah utara menuju kawasan Lopang. Rupanya jalan ini menuju ke Banten Lama. Sepeda motorku melaju hingga 1 km lebih dari pertigaan tadi. Keyakinanku telah salah tujuan makin menguat karena tak juga kulihat warung tenda Mang Puri yang kucari-cari. Kuputuskan berbalik dan menuju kembali ke Pasar Lama. Terpikir olehku untuk memarkir sepeda motor dan berjalan kaki mencari info tentang Jejorong dan Bubur Sumsum Mang Puri.

Photobucket - Video and Image Hosting
foto : sri nanang setiyono
MIRIP RAWON: Rabeg, makanan khas Banten.

Baru berbalik 10 meter, kulihat deretan tulisan dari stiker yang ditempel pada kaca warung makan di sisi kiri jalan. Salah satunya bertuliskan R-A-B-E-G. Ya…rabeg (huruf e dibaca seperti dalam kata back), nama ini juga disebut Bondan. Konon dia adalah makanan khas Banten yang sudah jarang nongol di warung-warung makan. Langsung saja aku berhenti dan menghampiri warung yang terletak di Jalan Banten Raya no 40, Desa Lopang Cilik, Serang. Kepada penjualnya yang seorang wanita paruh bayar, kupesan sepiring Rabeg. Ketika sedang disajikan, aku masih belum ngeh mana yang disebut Rabeg. Baru setelah diambilkan, aku paham rupanya secara fisik rabeg mirip dengan gulai kambing atau rawon. Daging kambing yang dipotong kecil-kecil dimasak dalam air kuah yang dicampur bumbu khusus. Bumbu itu adalah merica, cuka, kemiri, kecap, jahe, bawang merah, dan cenge (cabe rawit). Jadilah warna rabeg yang sudah matang menjadi coklat kehitam-hitaman mirip gulai kambing tetapi lebih bening.
”Ini memang daging kambing. Kalau pakai daging lain ya namanya bukan Rabeg,” kata ibu Hj Fatum, si pemilik warung, usai aku membayar uang Rp 8.000 sebagai ganti sepiring nasi rabeg dan segelas es teh tawar.
Ibu Fatum menjelaskan perbedaan rabeg dengan gulai kambing maupun rawon. Bila gulai kambing memakai santan kelapa, rabeg cukup memakai air. Bagian daging yang biasa dipakai adalah paha, usus dan jeroan. Usus harus dibersihkan dulu, lantas dikepang dan baru dipotong kecil-kecil. Tak heran bila aroma kambing yang khas tak lagi terasa bila disantap. Soal rasa….boleh diadu. Sayang, aku tak mencicipinya dalam keadaan hangat. Konon, kata ibu Fatum, lebih nikmat untuk memakan rabeg dalam keadaan hangat.
”Enaknya dimakan pas masih anget pakai asinan jadi kayak pasangannya,” jelas ibu yang mengatakan penjual rabeg di Banten makin jarang dan sulit ditemui. Asinan yang dipakai adalah wortel, kol dan ketimun yang diiris kecil-kecil, lebih kecil daripada asinan buat teman makan nasi goreng atau mie rebus.
Seperti daging kambing pada umumnya, usai memakannya pun aku mengalami “kenaikan”. Kepala seakan lebih “tinggi” beberapa sentimeter. Ini adalah pengaruh khas dari daging kambing yang menaikkan tekanan darah. Wajar bila rabeg pun tak dianjurkan bagi penderita hipertensi atau tekanan darah tinggi (bludrek, bs Jawa).
Dari ibu Fatum ini, aku mendapat info tentang aneka makanan khas Banten yang tengah aku buru sekadar untuk dicicipi. Di antaranya mahbub, nasi sumsum, jejorong, dan kulit tangkil.
”Kalau adik mau nyari jejorong banyak di Sukalila. Minta aja biar dibuatin dulu,” saran dia saat hendak pamit dan mengucapkan terima kasih. Jejorong, kata dia, biasanya sangat banyak dijajakan saat bulan Ramadan. Pedagangnya biasa ditemukan di Pasar Lama dalam jumlah banyak. Tak lupa, ibu Fatum menyuruhku untuk menelpon terlebih dahulu bila ingin kembali mencicipi rabeg racikannya. Maksudnya biar disisihkan terlebih dahulu takut kehabisan diborong pembeli.
”Bagusnya adik datang siang aja. Kan kalau pagi dagingnya belum matang. Lagian ibu kan harus belanja dulu ke pasar,” katanya. Matahari sudah condong ke kanan dan teriknya sudah jauh berkurang ketika aku berpamitan. Dari tulisan di kaca, aku mengetahui warung ibu Fatum diberi bernama Warung Makan Berkah.(*)