Jelajah Banten

Tuesday, August 08, 2006

Rabeg yang Makin Langka

Adalah rasa penasaran yang mendorongku ngeloyor dari kantor siang kemarin. Gara-garanya keinginan mencicipi makanan khas Banten bernama Jejorong dan bubur sumsum yang namanya kudapat dari tulisan Bondan Winarno di kolom Jalan Sutera dalam website KCM. Siang itu juga sekitar pukul 15.30, aku meluncur ke Pasar Lama Serang yang jaraknya lebih kurang 3 km dari kantorku.
Tak sampai 10 menit, aku sudah meluncur di depan pasar. Agak ragu juga ketika kulihat warung-warung tenda di sepanjang jalan di depan pasar belum menjajakan makanan. Toko-toko di sekitarnya kebanyakan menjajakan buah-buahan, sepatu, barang elektronik, dan pakaian. Beberapa toko tampak lengang dan sebagian malah tidak buka sama sekali. Kulihat papan nama bekas bioskop Serang yang di bawahnya menjadi tempat mangkal ojek, kios penjual buah-buahan dan parkir sepeda motor. Sempat aku kelilingi pasar namun tak juga kulihat warung tenda Mang Puri yang disebut-sebut Bondan di tulisannya. Hasilnya masih nihil.
Masih kurang yakin, kucoba susuri jalan ke arah utara hingga menemui pertigaan yang di sisi timurnya berdiri kantor Polsek Lopang. Aku memutuskan melaju ke arah utara menuju kawasan Lopang. Rupanya jalan ini menuju ke Banten Lama. Sepeda motorku melaju hingga 1 km lebih dari pertigaan tadi. Keyakinanku telah salah tujuan makin menguat karena tak juga kulihat warung tenda Mang Puri yang kucari-cari. Kuputuskan berbalik dan menuju kembali ke Pasar Lama. Terpikir olehku untuk memarkir sepeda motor dan berjalan kaki mencari info tentang Jejorong dan Bubur Sumsum Mang Puri.

Photobucket - Video and Image Hosting
foto : sri nanang setiyono
MIRIP RAWON: Rabeg, makanan khas Banten.

Baru berbalik 10 meter, kulihat deretan tulisan dari stiker yang ditempel pada kaca warung makan di sisi kiri jalan. Salah satunya bertuliskan R-A-B-E-G. Ya…rabeg (huruf e dibaca seperti dalam kata back), nama ini juga disebut Bondan. Konon dia adalah makanan khas Banten yang sudah jarang nongol di warung-warung makan. Langsung saja aku berhenti dan menghampiri warung yang terletak di Jalan Banten Raya no 40, Desa Lopang Cilik, Serang. Kepada penjualnya yang seorang wanita paruh bayar, kupesan sepiring Rabeg. Ketika sedang disajikan, aku masih belum ngeh mana yang disebut Rabeg. Baru setelah diambilkan, aku paham rupanya secara fisik rabeg mirip dengan gulai kambing atau rawon. Daging kambing yang dipotong kecil-kecil dimasak dalam air kuah yang dicampur bumbu khusus. Bumbu itu adalah merica, cuka, kemiri, kecap, jahe, bawang merah, dan cenge (cabe rawit). Jadilah warna rabeg yang sudah matang menjadi coklat kehitam-hitaman mirip gulai kambing tetapi lebih bening.
”Ini memang daging kambing. Kalau pakai daging lain ya namanya bukan Rabeg,” kata ibu Hj Fatum, si pemilik warung, usai aku membayar uang Rp 8.000 sebagai ganti sepiring nasi rabeg dan segelas es teh tawar.
Ibu Fatum menjelaskan perbedaan rabeg dengan gulai kambing maupun rawon. Bila gulai kambing memakai santan kelapa, rabeg cukup memakai air. Bagian daging yang biasa dipakai adalah paha, usus dan jeroan. Usus harus dibersihkan dulu, lantas dikepang dan baru dipotong kecil-kecil. Tak heran bila aroma kambing yang khas tak lagi terasa bila disantap. Soal rasa….boleh diadu. Sayang, aku tak mencicipinya dalam keadaan hangat. Konon, kata ibu Fatum, lebih nikmat untuk memakan rabeg dalam keadaan hangat.
”Enaknya dimakan pas masih anget pakai asinan jadi kayak pasangannya,” jelas ibu yang mengatakan penjual rabeg di Banten makin jarang dan sulit ditemui. Asinan yang dipakai adalah wortel, kol dan ketimun yang diiris kecil-kecil, lebih kecil daripada asinan buat teman makan nasi goreng atau mie rebus.
Seperti daging kambing pada umumnya, usai memakannya pun aku mengalami “kenaikan”. Kepala seakan lebih “tinggi” beberapa sentimeter. Ini adalah pengaruh khas dari daging kambing yang menaikkan tekanan darah. Wajar bila rabeg pun tak dianjurkan bagi penderita hipertensi atau tekanan darah tinggi (bludrek, bs Jawa).
Dari ibu Fatum ini, aku mendapat info tentang aneka makanan khas Banten yang tengah aku buru sekadar untuk dicicipi. Di antaranya mahbub, nasi sumsum, jejorong, dan kulit tangkil.
”Kalau adik mau nyari jejorong banyak di Sukalila. Minta aja biar dibuatin dulu,” saran dia saat hendak pamit dan mengucapkan terima kasih. Jejorong, kata dia, biasanya sangat banyak dijajakan saat bulan Ramadan. Pedagangnya biasa ditemukan di Pasar Lama dalam jumlah banyak. Tak lupa, ibu Fatum menyuruhku untuk menelpon terlebih dahulu bila ingin kembali mencicipi rabeg racikannya. Maksudnya biar disisihkan terlebih dahulu takut kehabisan diborong pembeli.
”Bagusnya adik datang siang aja. Kan kalau pagi dagingnya belum matang. Lagian ibu kan harus belanja dulu ke pasar,” katanya. Matahari sudah condong ke kanan dan teriknya sudah jauh berkurang ketika aku berpamitan. Dari tulisan di kaca, aku mengetahui warung ibu Fatum diberi bernama Warung Makan Berkah.(*)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home